Kamis, 28 Januari 2016

Studi Kasus Pencemaran Minyak di Kepulauan Seribu

Studi Kasus Pencemaran Minyak di Kepulauan Seribu

Kasus pencemaran minyak Kepulauan Seribu yang telah dan mulai menjadi materi pembahasan berbagai pihak adalah Kasus Pencemaran pada bulan Desember 2003, Kasus Pencemaran pada bulan April-Mei 2004, dan Kasus Pencemaran pada bulan Oktober 2004, yang kesemuanya merupakan kasus yang diawali dengan laporan kejadian dari Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu dan Pemerintah Daerah Kabupaten Kepulauan Seribu kepada berbagai pihak terkait. Kasus pencemaran terakhir terjadi tanggal 5 Oktober 2004. Pukul 14.50 WIB, Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu (TNLKpS) mengetahui bahwa di Kepulauan Seribu telah terjadi kembali pencemaran minyak, terutama di Perairan dan pulau Pramuka, Panggang dan Karya, yang merupakan Wilayah Zona Permukiman TNLKpS (Dephut, 2007).
 
Gambar 1. Peta Kepulauan Seribu (Sumber: http://www.jakarta-tourism.go.id)

Pencemaran minyak tersebut merupakan pencemaran minyak terbesar yang pernah terjadi dan mengenai Perairan dan Pulau Pramuka, Panggang dan Karya. Besaran pencemaran seperti hamparan lapangan seluas sekitar 1 (satu) km2 dan alur sungai sepanjang sekitar 3 km, dengan ketebalan sekitar 3-7cm. Jenis minyak diperkirakan minyak mentah (crude oil). Sebelumnya, terjadi pula pencemaran minyak cukup besar pada bulan Desember 2003. Kasus Pencemaran Minyak ini diketahui oleh Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu pada tanggal 28 Desember 2003, yang segera ditindaklanjuti dengan pembentukan Tim Terpadu dan kunjungan ke lapangan. Kunjungan ke lapangan, dilakukan sekaligus dengan pengambilan sampel prosedural oleh PPNS Kementerian Lingkungan Hidup yang didampingi oleh PPNS TNLKpS, Pemda Kabupaten, BPLHD Propinsi, dan Perwakilan Instansi Sektoral terkait lainnya. Kasus pencemaran bulan Desember 2003 seluruh pulau (78 pulau) di Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu tercemar, saat ini, proses penegakan hukumnya masih pada tahap Pengumpulan Barang Bukti (PULBAKET). Kasus ini merupakan contoh kasus yang sarat dengan permasalahan internal pemerintah. Permasalahan tersebut berkaitan dengan ketidaktersediaan dana untuk pengujian laboratorium sample minyak pencemar, dan tidak digunakannya teknologi penginderaan jauh. Kendala yang dihadapi adalah Penyidik KLH tidak dapat melakukan uji laboratorium 16 sampel minyak dari Anjungan Minyak CNOOC, sehingga sampai saat ini belum dapat menetapkan tersangka dan tidak ada keberlanjutan penyidikan (Dephut, 2007).

Gambar 2. Tumpahan Minyak di Laut (Sumber: http://static.trunity.net)

Di samping kasus pencemaran besar tersebut, terjadi pula pemcemaran minyak mentah pada bulan April/Mei 2004. Pada kasus ini, TNLKpS melakukan monitoring dan pemantauan terhadap dampak pencemaran yang meliputi sekitar 30 pulau di Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu (sekitar 40 % Pulau dalam TNLKpS). Selama ini, ada dua penyebab utama pencemaran di Kepulauan Seribu. Pertama, berasal dari perusahaan minyak dan kapal yang membuang residu ke laut. Kedua, pencemaran diduga karena adanya kebocoran dari pipa pengeboran minyak di lepas pantai Teluk Jakarta (Republika online, 2009).
Kasus pencemaran Desember 2003, pada awalnya telah ditangani dengan baik, dimana telah dibentuk (Dephut, 2007). :
  • Penanggungjawab Koordinasi yang dilakukan dalam kordinasi Pemda Kabupaten,
  • Monitoring Pulau Tercemar dilakukan dalam koordinasi TNLKpS, dan
  • Penegakan Hukum dikoordinasikan dan dilakukan oleh Kantor Meneg KLH.

Dampak Pencemaran Tumpahan Minyak Bagi Biota Laut
  • Secara Akumulasi
Secara akumulasi puluhan tahun terjadinya pencemaran minyak di Taman Nasional Kepulauan Seribu, telah dapat dibuktikan dengan petunjuk dari Penyu Sisik sebagai salah satu indikator kunci lingkungan hidup laut. Petunjuk kunci yang menunjukkan rusaknya ekosistem Kepulauan Seribu, terjadi baru pertama kali pada tahun 2004 ini, yaitu bahwa rata-rata telur yang diperoleh dari Pulau Peteloran Timur berjumlah 4.363 butir, tetapi pada tahun 2004 ini hanya diperoleh 2.620 butir yang diantaranya 905 butir telur tidak berembrio, 110 butir telur berembrio mati, dan 4 ekor tukik terlahir cacat yang akhirnya mati (Dephut, 2007).
  
Gambar 3. Dampak Pencemaran Minyak Terhadap Biota Laut (http://www.msnbc.com)
 
  • Secara Khusus
Secara khusus, pencemaran minyak di Kepulauan Seribu telah berakibat nyata pada gangguan ekosistem Kepulauan Seribu dalam jangka panjang secara bertahap, baik terumbu karang, padang lamun, mangrove, penyu, maupun biota laut lainnya. Secara khusus diinformaskan bahwa padang lamun dan mangrove, merupakan komponen sangat penting pada ekosistem laut Kepulauan Seribu, tetapi sangat rentan terhadap kerusakan, dan sangat sulit dan mahal upaya pemulihannya.

Terkait langsung dengan pencemaran minyak 5 Oktober 2004 ini, pada tanggal 10 Oktober 2004 jam 17.10 WIB, ditemukan biota laut dilindungi yang mati karena terkena pencemaran minyak yaitu (1) seekor Lumba-lumba Hidung Botol (Tursiops trucatus) dengan panjang 1,6 meter yang, dan (2) seekor Penyu Sisik (Eretmochelys imbricata) dengan panjang kerapas 60 cm, yang keduanya terdampar di Pulau Pramuka bagian Timur. Selain itu, terdapat pentahapan kematian ikan bandeng (Chanos chanos) sebagai ikan permukaan (pelagis) di Jaring Apung Gosong Pramuka dimulai pada tanggal 8 Oktober 2004 jam 15.30 WIB sekitar 3.200 ekor, tanggal 9 Oktober 2004 sekitar 3.900 ekor, dan tanggal 10-12 Oktober rata sekitar 600 ekor (Dephut, 2007).

Sumber Acuan

Departemen Kehutanan RI. 2007. Taman Nasional Kepulauan Seribu Terkena Dampak Pencemaran Minyak Yang Selalu Berulang. http://www.dephut.go.id/index.php/news/details/1645. Diakses pada tanggal 16 September 2014
Republika. 2009. Kasus Limbah Minyak Mentah di Kepulauan Seribu Tak Pernah Diusut. http://www.republika.co.id/berita/shortlink/87767. Diakses pada tanggal 16 September 2014
Direktorat Konservasi dan Taman Nasional. 2009. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan RI No Per 02/Men/2009 Tentang Tata Cara       Penetapan  Kawasan Konservasi Perairan.DKP Direktorat Jenderal KP3K, Jakarta.
Departemen Kelautan damn Perikanan. 2007. Undang Undang RI No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilaqyah Pesisir  dan Pulau Pulau   kecil.  Bagian Hukum Organisasi dan Humas. Direktorat   Jenderal KP3K.
Wahyudiono. 2009. Kerentanan Terumbu Karang Akibat Aktivitas Manusia Menggunakan “Cell - Based Modelling” Di Pulau Karimunjawa Dan Pulau Kemujan, Jepara, Jawa Tengah. Institut Pertanian Bogor: Bogor.

http://www.jakarta-tourism.go.id
http://static.trunity.net
http://www.msnbc.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar